LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI TANAMAN
Di kawasan pantai Pangandaran, 3 Mei 2014.
Nah, ini nih hasilnya pas pulang dari Pangandaran, kita wajib bikin laporan praktikum...
I.
PENDAHULUAN
A.
Tujuan
Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk
mengetahui dan mempelajari keragaman dan distribusi agroekosistem pada wilayah
yang berbeda dengan berbagai sistem budidaya pertanian di sekitar pantai
Pangandaran.
B.
Landasan
Teori
Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh
Erner Haeckel, seorang ahli biologi bangsa Jerman, pada tahun 1869. Ekologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu Oikos yang
berarti rumah atau tempat tinggal dan logos
yang berarti ilmu/telaah. Oleh
karena itu ekologi berarti ilmu tentang rumah (tempat tinggal) makhluk hidup.
Secara lebih spesifik Haeckbel mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan biotik dan
abiotiknya (Leksono, 2007).
Ekologi ialah kajian mengenai interaksi timbal balik
jasad individu, di antara dan di dalalam populasi yang sama, atau di antara
komunitas populasi yang berbeda-beda, dan berbagai faktor nir-hidup (abiotik)
yang banyak jumlahnya yang merupakan lingkungan yang efektif tempat hidup
jasad, populasi atau kominitas itu. Lingkungan efektif itu sendiri mencakup
kesemrawutan pada antaraksi antara jasad hidup itu sendiri (Ewusie, 1990).
Ekologi mempunyai banyak penerapan bermanfaat yang
ditujukan kepada pemeliharaan biosfer yang lebih sehat dan lebih produktif bagi
kehidupan manusia dan jasad hidup lainnya. Di antara manfaat yang tidak kecil
artinya pada kaji ekologi adalah berbagai asas yang disediakan olehnya untuk
pemakaian sumberdaya alam secara bijaksana, yang sering disebut sebagai
pelestarian (Ewusie, 1990)
Suatu konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem
(sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup
dan lingkungannya). Oleh karena itu, ekosistem adalah tatanan kesatuan secara
utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan yang saling mempengaruhi.
Berdasarkan pengertian tersebut, suatu sistem terdiri atas komponen-komponen
yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Dua komponen penyusun
ekosistem adalah komponen hidup (biotik) dan komponen tak hidup(abiotik) yang
berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur (Leksono, 2007).
Apabila kita hanya melihat fungsinya, suatu
ekosistem terdiri atas dua komponen (Riberu, 2002):
a)
Komponen autotrofik: organisme yang
mampu menyediakan atau mensintesis makanannya sendiri berupa bahan organik dan
bahan-bahan anorganik dengan bantuan energi matahari atau klorofil. Oleh karena
itu semua organisme yang mengandung klorofil disebut organisme autotrofik.
b)
Komponen heterotrofik: organisme yang
mampu memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai bahan makanannya. Bahan makanan
itu disintesis dan disediakan oleh organisme lain.
Apabila dilihat dari segi
penyusunannya, maka dapat dibedakan menjadi empat komponen yaitu (Riberu, 2002):
a.
Bahan tak hidup (abiotik, non hayati):
komponen fisik dan kimia, misalnya: tanah, air, matahari, dan lain-lain.
Komponen ini merupakan medium (substrat) untuk berlangsungnya kehidupan.
b.
Produsen: organisme autotrofik (tumbuhan
hijau)
c.
Konsumen: organisme heterotrofik,
misalnya: manusia, hewan yang makan organisme lainnya.
d.
Pengurai (perombak atau dekomposer):
organisme heterotrofik yang mengurai bahan organik yang berasal dari organisme
mati.
Keanekaragaman jenis seringkali
disebut heterogenitas, yaitu karakteristik unik dari komunitas suatu organisasi
biologi dan merupakan gambaran struktur dari komunitas (Sitompul, 1996).
Komunitas secara dramatis
berbeda-beda dalam kekayaan spesiesnya (species richness), jumlah spesies yang
mereka miliki. Mereka juga berbeda dalam hubungannya dalam kelimpahan relatif
(relative abundance) spesies. (Campbell, 2004)
Komunitas yang mempunyai
keanekaragaman tinggi lebih stabil dibandingkan dengan komunitas yang memiliki
keanekaaragaman jenis rendah. Analisa
vegetasi adalah salah satu cara untuk mempelajari tentang susunan (komposisi)
jenis dan bentuk struktur vegetasi (masyarakat tumbuhan). Analisi vegetasi
dibagi atas tiga metode yaitu: (Soerianegara, 1988).
1. Minimal
area,
2. Metode
kuadrat dan,
3. Metode
jalur atau transek.
Salah satu metode dalam analisa vegetasi
tumbuhan yaitu dengan menggunakan metode transek. Untuk mempelajari suatu
kelompok hutan yang luas dan belum diketahui keadaan sebelumnya paling baik
dilakukan dengan transek. Menurut Oosting (1956), transek merupakan garis
sampling yang ditarik menyilang pada sebuah bentukkan atau beberapa bentukan.
Transek juga dapat dipakai dalam studialtituide dan mengetahui perubahan
komunitas yang ada.
Salah satu cara suatu komunitas
berinteraksi adalah dengan peristiwa makan dan dimakan sehingga terjadi pemindahan
energi, elemen kimia dan komponen lain di sepanjang rantai makanan. Rantai
makanan adalah perpindahan energi dari sumbernya dalam tumbuhan ke organisme
tingkat trofik di atasnya melalui peristiwa makan dan dimakan (Khrohne, 2001).
Semua rantai makanan dimulai dari organisme autrotof. Istilah ini pertama kali
diperkenalkan oleh Elton (1927). Ide ini dimunculkan untuk menekankan
pentingnya makanan bagi organisme dan menganalisis konsekuensinya.
Pada kenyataannya, di alam
rantai-rantai makanan yang ada bergabung membentuk jaring-jaring makanan.
Beberapa spesies memakan mangsa pada berbagai tingkatan trofik sehingga akan
terbentuk jalur aliran energi yang berganda. Rantai makanan berinteraksi
membentuk jaring-jaring makanan. Suatu ekosistem yang ssederhana seperti kolam
memiliki hubungan trofik yang kompleks. Sistem tersebut terkadang sulit untuk
mengkaji interaksi antara jenis pemangsa dan mangsa (Leksono, 2007).
Ekosistem pantai letaknya
berbatasan dengan ekosistem darat, laut dan daerah pasang surut. Ekosistem
pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut. Organisme yang hidup
di pantai memiliki adaptasi struktural sehingga dapat melekat erat di substrat
keras (Leksono, 2007).
Daerah pesisir merupakan habitat
yang menghidupi beberapa tanaman yang bernilai ekonomi seperti kelapa. Pasirnya
merupakan bahan yang sangat berharga di beberapa negara untuk pembuatan batu
bata semen untuk keperluan bangunan. Pasir itu juga merupakan bahan penggosok
yang berguna untukberbagai macam bahan. Sifat vegetasi seperti yang diuraikan
di atas menunjukan bahwa vegetasi itu sangat membantu mencegah penyusupan laut
ke daratan (Ewusie, 1990).
II.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Analisis
vegetasi
1.
Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan dalam praktikum analisis vegetasi antara lain kertas plano,
spidol, spidol warna/krayon, pulpen, penggaris, pensil, kamera dan buku catatan.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah ekosistem yang akan dianalisis
vegetasinya.
2.
Prosedur Kerja
a. Praktikan
mempersiapkan alat-alat yang diperlukan dalam praktikum.
b. Praktikan
menuju wilayah yang sudah ditentukan sebelumnya berdasarkan kelompok
masing-masing.
c. Mulai
mengamati keadaan vegetasi di lahan pertanian sekitar pantai Pangandaran,
tanaman apa yang paling dominan, berapa luas lahan untuk masing-masing tanaman,
bagaimana distribusi tanaman tersebut dan bagaimana sistem pertanian yang
diterapkan.
d. Mengambil
gambar tanaman yang sekiranya diperlukan.
e. Praktikan
mulai menggambar transek vegetasi yang sudah diamati.
B.
Jaring
Pangan
1.
Alat dan Bahan
Alat
dan bahan yang dibutuhkan yaitu kertas karton, spidol, pensil dan kamera.
2.
Prosedur Kerja
a.
Praktikan menuju tempat yang sudah
ditentukan untuk mulai melakukan pengamatan.
b.
Mengamati berbagai rantai makanan yang terdapat
di daerah tersebut.
c.
Kamera digunakan untuk mengambil gambar
organisme yang terdapat di lokasi.
d.
Praktikan menggambar jaring pangan pada
selembar kertas karton.
C.
Wawancara
dengan Petani
1.
Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang digunakan dalam
praktikum wawancara dengan petani yaitu alat tulis dan buku catatan.
2.
Prosedur Kerja
a. Praktikan
menemui petani atau pemilik lahan pertanian yang sudah ditentukan
b. Praktikan
mencari tahu informasi seputar sistem pertanian, pola tanam, kendala dalam
bercocok tanam dan lainnya.
c. Hasil
wawancara ditulis dalam buku catatan.
III.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh dalam praktikum ekologi tanaman
yang telah kami laksanakan di desa Wonoharjo, Parigi, Pangandaran tanggal 3 Mei
2014 lalu ini (hasil terlampir) dibagi ke dalam 3 bagian, yaitu: transek
vegetasi sekitar Pantai Pangandaran, jejaring pangan dan hasil wawancara dengan
petani setempat.
Pembahasan praktikum ini juga terbagi dalam 3
bahasan utama, yaitu: transek vegetasi, jaring pangan dan hasil wawancara
dengan petani setempat.
a.
Analisis Vegetasi
Salah
satu metode dalam analisa vegetasi tumbuhan yaitu dengan menggunakan metode
transek. Untuk mempelajari suatu kelompok hutan yang luas dan belum diketahui
keadaan sebelumnya paling baik dilakukan dengan transek.Cara ini paling efektif
untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut keadaan tanah, topografi
dan elevasi.
Oosting
(1956), menyatakan bahwa transek merupakan garis sampling yang ditarik
menyilang pada sebuah bentukkan atau beberapa bentukan. Transek juga dapat
dipakai dalam studialtituide dan mengetahui perubahan komunitas yang ada.
Pengamatan
dilakukan dengan berbagai macam parameter. Parameter yang digunakan mencakup
aspek topografi wilayah, pola budidaya, keadaan cuaca serta keadaan tanah.
Parameter tersebut dianggap mewakili keadaan keseluruhan dari ekosistem dan
komunitas wilayah tersebut.
Analisis
vegetasi yang dilakukan di desa ini dibagi ke dalam 6 titik berbeda dengan
faktor-faktor lingkungan yang berbeda pula.
Pada
pagi hari itu, keadaan cuaca sekitar desa Wonoharjo sedang cerah. Berdasarkan
analisis yang dilakukan oleh praktikan kelompok 4, diperoleh data ketinggian
tempat 0-5 mdpl, intensitas cahaya matahari sebesar 571 lux, suhu udara sekitar
31oC, kelembaban udara 70 % dan pH tanah 6,8.
Lahan
yang kami amati, keseluruhan bagiannya digunakan sebagai ladang pertanian,
dengan tanaman utama berupa kelapa yang ditumpangsarikan dengan berbagai jenis
tanaman lain. Tanaman yang terdapat dalam lahan pertanian ini berjumlah 12
jenis, yaitu: kelapa, bengkuang, rumput gajah, ketela pohon, jagung, pisang,
kacang tanah, talas, kedondong, mangga, nanas dan mahoni. Dari keduabelas
tanaman tersebut, tanaman jagung dan kacang tanah yang paling besar jumlahnya.
Dalam
bukunya yang berjudul Bertanam Kelapa, Djoehana Setyamidjaja (1984), mengatakan
bahwa pertumbuhan kelapa di daerah pantai umumya baik meskipun curah hujannya
lebih rendah daripada batas minimum. Hal ini disebabkan karena pada daerah itu,
di bawah permukaan tanah terdapat air yang cukup, berasal dari daerah yang
letaknya jauh dari pantai. Pada daerah demikian, adanya dan banyaknya air tanah
merupakan faktor yang lebih menentukan daripada ukuran curah hujan.
Sehingga
tidak heran jika di kawasan sekitar pantai Pangandaran ini banyak terdapat
tanaman kelapa yang dibudidayakan. Selain diambil buah dan daunnya, tanaman
kelapa di daerah ini juga diambil air niranya untuk diolah menjadi gula kelapa.
Tanaman
yang banyak dibudidayakan di desa ini selain kelapa yaitu jagung dan kacang
tanah.
Iklim
yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah
beriklim sedang hingga daerah beriklim sub tropis/tropis yang basah. Di daerah
tropis juga banyak ditanam jagung. Jagung dapat tumbuh di darah yang terletak
antara 0o – 50o Lintang Utara hingga 0o – 40o
Lintang selatan (Aak, 1993).
Temperatur
yang dikehendaki tanaman jagung antara 21oC hingga 30oC.
Akan tetapi temperatur optimum adalah antara 23o sampai dengan 27oC.
Hal ini tidak menjadi problem yang berarti bagi areal pertanaman jagung di
Indonesia (Aak, 1993).
Menurut
dinas pertanian dan kehutanan Kabupaten Bantul, tanaman Kacang Tanah cocok
ditanam didataran rendah yang berketinggian dibawah 500 m diatas permukaan
laut. lklim yang dibutuhkan tanaman Kacang Tanah adalah bersuhu tinggi antara
25°C - 32°C, sedikit lembab ( rH 65 % - 75 % ), curah hujan 800 mm -1300 mm per
tahun, tempat terbuka.
Kacang
tanah tidak terlalu memilih jenis tanah. Pada tanah berat (heavvy clay/fine textured soil), kacang tanha masih dapat
menghasilkan, jika pengolahan tanahnya dilakukan dengan baik. Tetapi, tanaman
kacang tanah dapat tumbuh optimal pada tanah ringan (loamy sand, sandy loan, dan
sandy clay) yang cukup mengandung unsur hara. Tanah ringan tersebut umumnya
gembur sehingga emungkinkan akar tumbuh dengan baik, dan lebih banyak polong
yang terbentuk (Fachruddin, 2000).
Kacang
tanah masih mampu tumbuh dengan cukup baik pada tanah asam (pH 5,0), tetapi
peka terhadap tanah basa. Keasaman tanah yang ideal bagi kacang tanah berkisar
antara 6,0 – 7,0 (Fachruddin, 2000). Hal ini sesuai dengan keadaan lahan di
lokasi praktikum, pH tanah di lokasi tersebut yaitu 6,8.
Suhu
amat berpengaruh terhadap perkecambahan biji dan pertumbuhan awal. Pada suhu
kurang dari 18oC, laju perkecambahan rendah. Pertumbuhan kacang
tanah meningkat sejalan dengan peningkatan suhu dari 20oC menjadi 30oC
(Fachruddin, 2000).
Tanaman
yang ditumpangsarikan dalam lahan ini hampir sebagian besar tanaman semusim.
Seperti, jagung, kacang tanah, bengkuang, talas, ketela pohon dan nanas.
Sedangkan tanaman tahunan selain kelapa, hanya dijadikan sebagai tanaman
penyeling dan tanaman pelindung. Namun, jarak tanam yang diterapkan dalam
pertanaman tidak teratur. Sudah begitu, setelah melihat keadaan tanah di lokasi
(terutama lahan jagung), akan dapat segera diketahui jika pengolahan tanah
dilakukan dengan seadanya dan cenderung buruk, namun tidak terlalu mempengaruhi
pertumbuhan jagung.
Setelah
kami mendapatkan data analisis kelompok masing-masing, dibuatlah suatu transek
gabungan yang menggambarkan keadaan vegetasi seluruh kelompok. Sehingga
diperoleh data bahwa: intensitas penyinaran matahari berkisar antara 466 – 694
lux, dengan ketinggian tempat 0 – 5 mdpl, suhu udara berkisar antara 31o
– 34oC, dengan kelembaban antra 63,4% - 70%. Sementara pH tanah di
desa Wonoharjo berkisar antara 5,4 – 6,8.
Dalam
data hasil anilisis transek vegetasi gabungan, diketahui bahwa tanaman ubi
jalar dan jagung adalah tanaman semusim yang paling banyak dibudidayakan.
Sedangkan tanaman tahunan yang paling mendominasi adalah tanaman kelapa dan
kelapa gading.
Ubi
jalar memiliki daya adaptasi yang luas terhadap lingkungan hidup sehingga dapat
dibudidayakan pada berbagai jenis lahan, ketinggian tempat, dan tingkat
kesuburan tanah yang berlainan. Oleh karena itu, tanaman ubi jalar mudah
tersebar ke seluruh belahan bumi, terutama di daerah tropis. Di daerah
subtropis, misalnya Indonesia, ubi jalar dapat tumbuh baik dan dapat memberkan
hasil yang tinggi (Juanda, 2000).
Tanaman
ubi jalar umumnya tidak menghendaki iklim yang basah (curah hujan tinggi) karna
sistem perakaran ubi jalar tidak tahan terhadap genangan air. Curah hujan yang
tinggi dan menyebabkan genanangan air tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ubi
jalar (Juanda, 2000). Sehingga, ubi jalar dapat tumbuh dengan baik di desa Wonoharjo,
yang memiliki ketinggian tempat antara 0 – 5 m dpl dan dengan kisaran suhu
antara 31oC – 34oC.
Sedangkan
tanaman tahunan yang dominan yaitu kelapa dan kelapa gading. Kelapa gading
merupakan salah satu variasi dari kelapa genjah (dwarf variety). Menurut Warisno (2003), tanaman kelapa genjah
menghendaki keadaan suhu udara yang panas, dengan suhu rata-rata tahunan ±27oC.
Pada masa pertumbuhan vegetatif, tanaman kelapa genjah menghendaki suhu minimal
21oC. Di bawah suhu 21oC, pertumbuhan tanaman tidak baik.
Pada masa pertumbuhan buah, tanaman kelapa genjah memerlukan suhu rata-rata 25oC,
dengan fluktuasi 5o – 7oC. Selain kisaran suhu tertentu,
tanaman kelapa genjah menghendaki suhu udara yang merata. Tanaman ini sangat
peka terhadap perubahan (fluktuasi) suhu yang sangat mencolok, yang dapat
mengakibatkan penurunan hasil dan pertumbuhan buah yang jelek. Di Indonesia,
tanaman kelapa paling banyak ditanam di daerah yang memiliki ketinggian kurang
dari 200 m dpl. Tanaman kelapa hampir selalu diusahakan di daerah dataran
rendah, misalnya di daerah pantai (pesisir).
Sebenarnya,
daerah yang ideal bagi penanaman kelapa, baik kelapa genjah maupun kelapa
dalam, adalah daerah dengan ketinggian antara 200 m - 600 m dpl. Namun ternyata, tanaman kelapa di
dataran rendah (dengan ketinggian kurang dari 200 m dpl) dapat berbuah lebih
cepat dan berproduksi lebih tinggi dengan kadar minyak yang tinggi (Warisno,
2003).
b.
Jaring Pangan
Dalam
ekosistem yang kami amati, terdapat beberapa rantai makanan, yaitu peristiwa
makan dan dimakan dengan urutan dan arah tertentu. Kumpulan dari berbagai
rantai makanan tersebut membentuk suatu jaring pangan.
Di
alam, makanan pastilah diperoleh dari suatu sumber. Dengan cara menelusurinya
ke tingkat trofik yang lebih tinggi dan lebih rendah, kita dapat melihat di
mana awalnya dan di mana akhirnya. Hasilnya adalah rantai makanan – peta jalur
yang dilalui energi makanan saat berpindah dari satu spesies ke spesies lainnya
(Burnie, 2005).
Awal
suatu rantai makanan selalu dimulai dari tumbuhan. Dalam hal ini, tumbuhan
berperan sebagai produsen. Artinya, penghasil makanan bagi makhluk hidup
lainnya. Adapun hewan pemakan tumbuhan dan hewan lainnya dalam suatu rantai
makanan dinamakan konsumen. Ada beberapa tingkatan dalam rantai makanan.
Konsumen tingkat satu memakan produsen. Konsumen tingkat dua memakan konsumen
tingkat satu. Konsumen tingkat tiga memakan konsumen tingkat dua, dan begitu
seterusnya.
Dalam
ekosistem, suatu organisme tidak hanya makan satu jenis makanan saja, dan juga
dapat dimakan oleh beberapa jenis pemangsa. Oleh karena itu terjadi beberapa
rantai makanan yang saling berhubungan. Sekumpulan rantai makanan yang saling
berhubungan ini disebut dengan jaring-jaring makanan.
Menurut
Burnie (2005), walaupun rantai-rantai makanan tunggal itu pendek, mereka
biasanya berjumlah banyak. Rantai-rantai itu bersama-sama membentuk sebuah
jaring makanan – suatu jaringan garis-garis yang bersilangan dan terkadang
mirip peta kereta bawah tanah. Jika jaringnya lengkap, jaring tersebut
menunjukan semua rute yang mungkin dilewati makanan pada keseluruhan suatu
komunitas tumbuhan dan hewan.
Rantai
makanan dan jaring-jaring makanan menunjukkan bahwa di alam tidak ada yang
benar-benar sendirian. Bahkan di habitat-habitat yang paling sulit dijangkau
sekalipun, makhluk-makhluk hidup saling mempengaruhi, dan juga berinteraksi
dengan lingkungannya. Banyak di antara interaksi-interaksi itu yang sedemikian
rumitnya sampai-sampai tidak peduli seberapa intensifnya diteliti, hasilnya
tidak pernah dapat diprediksi.
Pada
lahan yang diamati oleh kelompok 4, terdapat beberapa rantai makanan seperti:
1.
Rumput gajah → belalang → burung → ular
2.
Jagung → belalang → burung → ular
3.
Jagung → burung → ular
4.
Jagung → tikus → ular
5.
Kacang tanah → tikus → ular
Kemudian
kelima rantai makanan tersebut digabungkan ke dalam suatu jaring pangan (gambar
jaring pangan kelompok 4 terlampir).
Hewan
yang menjadi konsumen tingkat pertama di wilayah tersebut yaitu belalang,
burung dan tikus. Hewan-hewan tersebut, sebenarnya merupakan hama dalam
pertanian ini.
Tikus
menjadi hama persemaian, masa vegetatif, masa generatif, masa panen, hingga di
penyimpanan. Tikus mempunyai sifat-sifat yang khusus sehingga merupakan hama
yang cukup penting pada pertanaman padi. Sifat khusus tersebut di antaranya
yaitu mempunyai preferensi makanan yang cukup banyak (padi segar, gabah, beras,
ubi jalar, ketela pohon, jagung, kelapa, kacang tanah, kedelai dan
kadang-kadang makan anak ayam). Tikus betina melahirkan anaknya menjelang masa
panen. Sekali melahirkan 4 – 12 anak, jumlah anaknya tergantung dari kualitas
makanan.dua hari setelah melahirkan, tikus betina sudah dapat berkopulasi lagi
(Tjahjadi, 1989).
Tanda-tanda
adanya serangan tikus : ada tikus, ada liang tikus, ada kotoran tikus, ada
bekas jejak tikus dan adanya potongan-potongan tanaman yang bekas dirusak
tikus. Tanda-tanda yang kami lihat di lokasi pada waktu praktikum yaitu
lubang-lubang tikus dan bekas tanaman yang dirusak tikus.
Burung
tidak pernah merugikan secara berarti dalam bidang pertanian, tetapi sebagian
adapula yang merusak tanaman padi, jagung, kacang-kacangan, dan buah-buahan.
Burung
gereja (Passer montanus, malaccensis)
yang banyak terdapat di pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Membuat sarang di
atap-atap rumah, dan sering makan padi yang akan dipanen (Tjahjadi, 1989).
Burung
gelatik (Passa oryzivora) juga
merusak tanaman padi, burung emprit (Munia
leucogastroides) terkenal sebagai burung padi karena jika musim panen padi
berpindah-pindah dari areal yang satu ke areal yang lain (Tjahjadi, 1989).
Hama
belalang berpotensi menyerang pertanaman terutama padi dan jagung yang masih
ada di sekitar kelompok belalang dan daerah lain yang masih dalam jangkauan
migrasinya (Tjahjadi, 1989).
Beberapa
jaring pangan yang diamati oleh masing-massing kelompok, digabungkan ke dalam
suatu jaring pangan gabungan yang mencakup kesuluruhan wilayah desa Wonoharjo
yang diamati.
Dalam
jaring pangan gabungan, hewan yang menjadi konsumen tingkat pertama adalah
lebah, ulat, tikus, burung, belalang, kupu-kupu, ayam, kepik, siput dan
kambing. Dari kesemua hewan tersebut, yang merupakan binatang hama yaitu: ulat,
belalang, kepik, tikus, burung dan siput. Sedangkan binatang lebah, kambing,
ayam dan kupu-kupu tidak termasuk dalam binatang hama.
Kemudian
hewan yang menjadi konsumen tingkat kedua antara lain: katak, burung, ayam dan
laba-laba. Ayam dan burung, selain sebagai konsumen tingkat pertama juga
sebagai konsumen tingkat kedua, karena ayam dan burung bukan hanya memakan
tumbuhan saja namun juga memakan serangga-serangga kecil.
Hama
serangga dan ulat sering menyebabkan kerusakan bagian tanaman terutama daun.
Usaha pengendalian hama serangga dan ulat ini dengan penyemprotan pestisida
kiranya sudah tepat. Namun, bila jenis pestisida yang kita gunakan tidak sesuai
dengan peruntukannya, maka tidak akan memberikan dampak yang berarti bagi hama
tersebut.demikian juga, jika kualitas pestisida yang digunakan sangat rendah,
maka tidak akan efektif bila digunakan untuk mengendalikan suatu hama
(Surachman dan Suryanto, 2007).
Siput
atau bekicot merupakan hama yang berasal dari Afrika Timur atau Afrika Selatan.
Binatang ini menyebar ke Indonesia melewati Malaysia antara tahun 1921-1930.
Bekicot mencari makan pada malam hari (Pracaya, 1991).
Pada
tanaman cabai, siput merupakan hama yang menyerang tanaman muda dan bagian
tanaman yang masih muda. Biasanya menyerang dengan memakan daun atau ranting
yang masih muda, dan terkadang juga memakan bunga cabai. Gejala serangan
ditandai dengan patahnya ranting-ranting muda, dan dedaunan juga mengalami
kerusakan (Warisno dan Dahana, 2010).
Konsumen
tingkat puncak dalam jaring pangan gabungan ini adalah ular. Ular dalam
ekosistem dapat membantu untuk mengendallikan hama sebagai musuh alaminya.
Petani setempat biasanya memanfaatkan ular untuk mengendalikan hama pada
tanaman padi.
c.
Wawancara dengan Petani
Untuk
mendapatkan informasi tambahan seperti tekhnik budidaya, sistem dan pola tanam,
kendala yang dihadapi dan berbagai hama yang menyerang tanaman, kami melakukan
wawancara dengan petani atau pemilik lahan setempat.
Petani
yang kami wawancarai ialah ibu Sireng, sedang nama si penyewa lahan adalah
bapak Alimusa.
Menurut
ibu Sireng, tanaman yang paling dominan ditanam di lahan tersebut adalah jagung
dan kacang. Terkadang mereka juga menanam ubi jalar dan padi, namun saat kami
berkunjung ke lahan, padi dan ubi sedang tidak ditanam.
Banyak
kendala yang dihadapi di daerah tersebut seperti serangan hama uret yang
menyerang tanaman dan kelapa, selain itu hama burung juga menimbulkan banyak kerugian.
Kendala lain adalah menurunnya kesuburan tanah, menurut ibu Sireng kesuburan
tanah sekitar lokasi menjadi kurang subur karena penanaman berulangkali dengan
jenis tanaman yang sama.
Untuk
memenuhi kebutuhan hara tanaman, mereka menggunakan pupuk TSP dan ZA. Sedang
kebutuhan air hanya mengandalkan persediaan air tanah, air hujan dan saluran
(selokan dan got) sekitar lokasi.
Hasil
panen masyarakat desa Wonoharjo sebagian besar digunakan untuk konsumsi
sendiri, dijual ke tetangga atau daerah sekitar. Sedang benih yang digunakan
berasal dari toko pertanian dan bantuan dari pemerintah.
Berdasarkan
hasil wawancara kelompok 5 dengan petani bernama Bpk. Cipto, tanaman yang
dibudidayakan di lahannya antaralain: kelapa, padi, ubi jalar dan singkong.
Sedangkan jenis kelapa yang ditanam adalah kelapa hibrid.
Lahan
yang digarap oleh bapak Cipto adalah tanah milik swasta, beliau hanya sebagai
buruh tani. Berdasar keterangan bapak Cipto, lahan tersebut sebelumnya
merupakan lahan budidaya kakao, namun sekarang digunakan sebagai lahan budidaya
kelapa. Pupuk yang banyak digunakan adalah pupuk kimia.
Hasil
dari ubi jalar dan singkong di daerah tersebut digunakan sebagai pakan ternak,
karena rasanya yang pahit dan tidak enak untuk dikonsumsi. Sedanngkan tanaman
kelapa diambil niranya untuk dijadikan gula merah.
Hambatan
utama dalam budidaya kelapa di daerah itu adalah serangan hama kumbang.
Sedangkan untuk tanaman ubi jalar dan ketela pohon hama yang menyerang umbi
yaitu tikus dan belalang.
Kemudian
berdasarkan hasil wawancara dari kelompok 2 rombongan 4 yang mewawancarai
petani sadap bernama Bpk. Iman, diperoleh beberapa keterangan, diantaranya
adalah bahwa lahan yang mereka (petani) garap bukanlah lahan pribadi, melainkan
lahan pemerintah daerah yang disewa untuk diolah. Penyewaan lahan dilakukan
kepada salah satu perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah, perusahaan tersebut
ditunjuk dari hasil tender yang dilakukan, sehingga perusahaan yang dijadikan
tempat penyewaan sering kali berubah sesuai dengan tender yang dilakukan dan
mengakibatkan petani kesulitan dalam proses penyewaan.
Pak Iman, menyewa sepuluh batang pohon kelapa untuk
disadap (tidak menyewa lahan). Sepuluh pohon yang disewa oleh petani mempunyai
tarif sewaan sebanyak 13 kg gula kelapa setiap 2 (dua) minggu sekali. Bisa juga
dengan uang seharga 13 kg gula kelapa yang sedang berlaku dipasar. Berbeda
dengan itu, petani yang menyewa lahan untuk ditanami berbagai jenis tanaman
pertanian, tarif yang dipatok oleh perusahaan pemenang tender berdasar luas
lahan per bata (1 bata = 14 m2).
Tanaman atau vegetasi yang mendominasi yang ada
dilahan observasi adalah kelapa, hal ini ditunjang dari jenis tanah yang
relatif berpasir karena dekat dengan pantai.
Mayoritas petani tidak menggunakan varietas
bersertifikat, bahkan untuk jagung yang ditanaman oleh salah satu petani, benih
yang digunakan adalah benih pilihan yang didapat dari hasil panen dan telah
dilakukan dalam beberapa generasi pertanaman tersebut, sehingga terlihat
pertumbuhan dan jumlah biji pertongkol dari tanaman jagung tersebut sangat
minim dan memprihatinkan.
Jika
ibu Sireng dan Pak Cipto menggunakan pupuk kimia, di lahan ini petani sebagian
besar menggunakan pupuk kandang. Hanya pada tanaman kacang tanah saja petani
menggunakan pupuk kimia.
KESIMPULAN
A. Analisis
vegetasi
Berdasarkan hasil pengamatan, jenis
tanaman dominan yang dibudidayakan di desa Wonoharjo, Parigi, Pangandaran
adalah ubi jalar dan jagung.
Sementara kondisi wilayah sekitar
desa tersebut tercatat sebagai berikut: intensitas penyinaran matahari berkisar
antara 466 – 694 lux, dengan ketinggian tempat 0 – 5 mdpl, suhu udara berkisar
antara 31o – 34oC, dengan kelembaban antra 63,4% - 70%.
Sementara pH tanah di desa Wonoharjo berkisar antara 5,4 – 6,8.
B. Jaring
pangan
Pada
lahan yang diamati oleh kelompok 4, terdapat beberapa rantai makanan seperti:
1.
Rumput gajah → belalang → burung → ular
2.
Jagung → belalang → burung → ular
3.
Jagung → burung → ular
4.
Jagung → tikus → ular
5.
Kacang tanah → tikus → ular
Hewan
yang menjadi konsumen tingkat pertama di wilayah tersebut yaitu belalang,
burung dan tikus. Hewan-hewan tersebut, sebenarnya merupakan hama dalam
pertanian ini.
Dalam
jaring pangan gabungan, hewan yang menjadi konsumen tingkat pertama adalah
lebah, ulat, tikus, burung, belalang, kupu-kupu, ayam, kepik, siput dan
kambing. Dari kesemua hewan tersebut, yang merupakan binatang hama yaitu: ulat,
belalang, kepik, tikus, burung dan siput. Sedangkan binatang lebah, kambing,
ayam dan kupu-kupu tidak termasuk dalam binatang hama.
C. Wawancara
dengan petani
Berdasar
hasil wawancara, diperoleh info bahwa lahan yang mereka (petani) garap bukanlah
lahan pribadi, melainkan lahan pemerintah daerah yang disewa untuk diolah.
Penyewaan lahan dilakukan kepada salah satu perusahaan yang ditunjuk oleh
pemerintah, perusahaan tersebut ditunjuk dari hasil tender yang dilakukan,
sehingga perusahaan yang dijadikan tempat penyewaan sering kali berubah sesuai
dengan tender yang dilakukan dan mengakibatkan petani kesulitan dalam proses
penyewaan.
DAFTAR PUSTAKA
Aak. 1993. Jagung. Penerbit Kanisius : Yogyakarta
Burnie, David. 2005. Bengkel Ilmu: Ekologi. Penerbit
Erlangga: Jakarta.
Ewusie, J. Yanney. 1990. Pengantar: Ekologi Tropika. Terjemahan
oleh Usman Tanuwidjaja. ITB: Bandung.
Fachruddin, Lisdiana. 2000. Budidaya Kacang-kacangan. Penerbit
Kanisius: Yogyakarta.
Juanda, Dede Js. dan Bambang
Cahyono. 2000. Ubi Jalar : Budidaya dan
Analisis Usaha Tani. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Leksono, Amin Setyo . 2007 . Ekologi: Pendekatan Deskriptif dan
Kuantitatif. Bayumedia Publishing: Malang.
Pracaya, Ir. 1991. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar
Swadaya: Depok.
Riberu, Paskalis. 2002. Pembelajaran Ekologi. Jurnal Pendidikan
Penabur No. 01/tahunI/Maret 2002. Halaman 125-132.
Setyamidjaja, Djoehana. 1984. Bertanam Kelapa. Penerbit Kanisius :
Yogyakarta
Surachman, Enceng dan Widada Agus
Suryanto. Hama Tanaman Pangan,
Hortikultura dan Perkebunan : Masalah dan Solusinya. Penerbit Kanisius:
Yogyakarta.
Tjahjadi, Nur. 1989.
Hama dan Penyakit Tanaman. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Warisno dan Kres Dahana. 2010. Usaha dan Budidaya Cabai. Gramedia:
Jakarta
Warisno. 2003. Budidaya Kelapa Genjah. Penerbit Kanisius: Yogyakarta