Rabu, 20 Januari 2016

Artikel Pertanian




Dampak Alih Fungsi Lahan Hutan Menjadi Lahan Perkebunan Kentang di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara


Hutan merupakan salah satu sistem penggunaan lahan, berupa aneka pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian mampu mempertahankan tanah dari proses kerusakan akibat erosi. Penggunaan lahan untuk pepohonan yang sejenis seringkali juga disebut hutan, misalnya hutan tanaman industri, hutan pinus, hutan jati, hutan mahoni, dsb. 
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
Usaha pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu. Kehutanan adalah usaha tani dengan subjek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah liar atau liar (hutan). Peternakan menggunakan subjek hewan darat kering (khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan amfibia) atau serangga (misalnya lebah). Perikanan memiliki subjek hewan perairan (termasuk amfibia dan semua non-vertebrata air). Suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai subjek ini bersama-sama dengan alasan efisiensi dan peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek konservasi sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha pertanian.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan pertanian cenderung meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan hutan sulitdihindari. Pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini mencapai 1,49%. Dengan pertumbuhan tetap saja, akan membawa konsekuensi kebutuhan beras Indonesia pada 2035 mencapai 47,84 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut, diperlukan penambahan 5,3 juta ha sawah baru dari 13 juta ha sawah yang ada sekarang.Tingginya jumlah dan kepadatan penduduk membuat lingkungan Pulau Jawa mengalami tekanan hebat. Lahan yang ada tidak mampu menyediakan semua kebutuhan penduduk. Selain akan mengurangi kualitas hidup penduduk,bencana lingkungan akibat ulah manusia, seperti banjir dan tanah longsor, juga akan semakin sering terjadi.

Maraknya fenomena alih fungsi lahan hutan seharusnya menjadi perhatian dari semua pihak. Sebagai contoh, data terakhir dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian menunjukkan bahwa sekitar 187.720 ha sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, data dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional menjelaskan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka akan semakin banyak terjadi pengalihfungsikan lahan hutan menjadi lahan pertanian. Sebenarnya berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengalihan fungsi lahan hutan sudah banyak dibuat.
Di Pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, sebagian penduduk mengalih fungsikan hutan Dieng untuk dijadikan kebun dan tanah ladang/tegalan. Pengalihfungsikan hutan ini bertujuan untuk pengembangan kebun kentang karena sebagian besar masyarakat bekerja pada sektor pertanian. Faktor ekonomi sangat berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Peningkatan pendapatan masyarakat merupakan alasan utama penduduk untuk mengalihfungsikan lahan hutan menjadi tanah pertanian, semak belukar dan tanah ladang atau tegalan.
Pada umumnya penduduk berpendapat bahwa produktivitas lahan akan meningkat apabila suatu lahan dialihfungsikan untuk penggunaan lahan yang lainnya atau dengan menambah luas lahan pertanian yang sebelumnya telah mereka usahakan. Tingginya ketergantungan penduduk pada lahan pertanian menyebabkan seluruh kebutuhan hidupnya diarahkan pada tingginya produktivitas lahan untuk mendapatkan hasil secara maksimal tanpa memperhatikan pelestarian sumber daya lahan. Keadaan demikian menyebabkan semakin cepatnya kerusakan lahan yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas lahan.
 Yang terjadi di Pegunungan Dieng saat ini adalah kerusakan lingkungan, apabila kerusakan tersebut meluas, maka akan berimbas pada 17 kabupaten yang terletak di sekitarnya. Apabila musim hujan tiba, tanah longsor terjadi di mana-mana. Hal ini terjadi karena pegunungan Dieng saat ini menjadi seperti lahan tandus, nyaris tidak terdapat pohon besar atau tanaman tahunan, hutan Dieng sudah dibabat habis demi tanaman kentang. Sejauh mata memandang hanya dapat terlihat perkebunan kentang. Petani di Dieng memang petani yang egois, mereka tidak mau tanaman kentang mereka mati atau busuk karena adanya pohon tanaman lain di kebunnya.
Bisa dibayangkan Pegunungan Dieng yang dulunya sangat subur dan hijau kini menjadi gundul karena dipenuhi perkebunan kentang. Imbas yang sangat terasa yaitu pada wilayah sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mrica. Setiap kali hujan, air yang mengalir melalui Sungai Tulis yang kemudian masuk ke Bendungan Mrica bercampur dengan lumpur. Bahkan, sudah ada empat desa tidak jauh dari PLTA Mrica yang hilang karena sering kebanjiran. Penghuni desa-desa tersebut pindah mencari tempat tinggal lain karena desa mereka berkali-kali menjadi langganan banjir.
Ketika banjir tiba, air yang mengalir dari Dieng menuju Sungai Tulis berupa lumpur. Hal ini terjadi karena hutan di bagian atasnya sudah habis atau gundul. Lebih dari 20 % kawasan hutan dibabat untuk dijadikan perkebunan kentang. Tanaman kentang membuat tanah di pegunungan rawan mengalami longsor karena hilangnya penahan air, padahal hutan-hutan di Dieng dimanfaatkan sebagai kantong-kantong cadangan air.
Pada musim hujan sedikitnya ada sekitar 4,5 juta ton lumpur yang terbawa dari Dieng ke Waduk Mrica. Waduk yang airnya dimanfaatkan untuk pasokan listrik Jawa-Bali itu meluap dipenuhi lumpur. Hal itu menghambat pengoperasian PLTA Mrica karena waduk dipenuhi endapan lumpur. Untuk mengeruk lumpur tidaklah mudah karena biayanya cukup tinggi.



Kesimpulan dari uraian di atas yaitu, pengalihfungsian lahan hutan Dieng menjadi lahan perkebunan kentang memiliki dampak besar, diantaranya:

Dampak positif

  • Meningkatkan kesejahteraan petani, masyarakat pegunungan yang semula mamanfaatkan hasil hutan sebagai mata pencaharian utama, setelah diperkenalkan tanaman kentang, kini beralih menjadi petani kentang, pendapatan mereka meningkat berkali lipat.

Dampak negatif

  • Hilangnya kantong cadangan air di hutan Dieng
  • Terjadi longsor yang hebat apabila musim hujan tiba, tanah dari pegunungan ikut mengalir ke bawah bersama aliran sungai Tulis. 
  • Menghambat pengoperasian PLTA Mrica karena waduk dipenuhi endapan lumpur. 
  • Warga di 4 desa sekitar waduk Mrica memilih meninggalkan desanya karena menjadi langganan banjir. Banjir yang terjadi sangat mengerikan karena membawa muatan lumpur. 
  • Kerusakan yang lebih parah akan berimbas pada 17 kabupaten yang berada di sekitarnya.